Mengenal Ekologi Wallacea

Wallacea merupakan nama yang digunakan untuk menyebut kawasan yang berada diantara Pulau Kalimantan, Pulau Bali dan Pulau Irian/Papua. Diantara ketiga pulau tersebut terdapat Pulau Sulawesi (pulau terbesar), Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Halmahera, Buru, Seram, serta banyak pulau-pulau kecil di antaranya. Total luas daratan kawasan Wallacea sekitar 347,000 km².

Istilah Wallacea sendiri diambil dari nama peneliti berkebangsaan Inggris Alfred Russel Wallace. Dalam penelitiannya, A.R. Wallace menemukan karakteristik yang berbeda pada satwa-satwa di Pulau Kalimantan, Pulau Bali dan daerah-daerah di sebelah barat kedua pulau tersebut terhadap satwa-satwa yang hidup di Pulau Sulawesi, Pulau Lombok dan pulau-pulau kecil di sebelah timurnya. Selanjutnya Wallace membuat garis maya yang memisahkan kedua wilayah berkarakteristik berbeda tersebut yang kemudian dikenal dengan garis Wallacea. Sementara kawasan yang berada di sebelah timur garis maya tersebut sampai dengan pulau-pulau kecil di sebelah barat Pulau Papua disebut sebagai kawasan Wallacea.

Garis khayal wallacea (http://id.wikipedia.org/wiki/Wallacea)

Garis khayal wallacea (http://id.wikipedia.org)

Sementara untuk garis batas khayal di bagian timur kawasan Wallacea dibuat oleh seorang ahli taksonomi ikan Belanda Dr Weber. Dr Weber menemukan perbedaan karakteristik spesies antara biogeografi Wallacea dengan biogeografi Papua. Selanjutnya dibuatlah garis khayal sebagai pemisah kedua karakteristik yang berbeda tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan garis Weber. Selain kedua garis khayal tersebut dikenal juga garis Lydekker dalam sub unit Wallacea. Garis ini dibuat oleh Lydekker dan Stressman sebagai batas kawasan Wallacea yang terletak lebih timur dari pada garis Weber.

Potensi Ekologis Kawasan Wallacea

Written et al dalam Supriatna (2008) membuat suatu catatan potensi keanekaragaman hayati kawasan wallacea yang sangat mengagumkan sebagai berikut :

Total keanekaragaman tumbuhan berpembuluh di wallacea diperkirakan sekitar 10.000 jenis, dimana mungkin 1.500 jenis merupakan jenis endemik; saat ini telah diketahui paling tidak 500 jenis endemik Sulawesi, 120 jenis endemik Sunda Kecil dan 300 jenis endemik Maluku. Juga terdapat 12 genera endemik di daerah ini, 7 di Sulawesi, 3 di Sunda Kecil dan 2 di Maluku.

Untuk keanekaragaman vertebrata, Wallacea memiliki 223 jenis mamalia asli, 126 diantaranya merupakan jenis endemik. Bila 124 jenis kelelawar dikeluarkan, 87 dari 99 mamalia yang tidak bisa terbang, atau 88 %, merupakan jenis endemik. Sulawesi memiliki jumlah jenis mamalia tertinggi (136), dimana 82 jenis atau sekitar seperempat dari genera adalah endemik. Daftar jenis untuk mamalia endemik Sulawesi termasuk flag spesies seperti anoa (Bubalus depresicornis) berstatus genting, babirusa berstatus rentan dan babi eigmatic yang memiliki taring yang panjang dan melengkung yang tumbuh di bibir bagian atas. Sebagai tambahannya, primata untuk Sulawesi semuanya merupakan jenis flagship yang penting, dengan tidak kurang tujuh jenis monyet ekor panjang (Macaca spp) bersifat unik untuk pulau ini, dan tidak kurang 5 jenis tersier (Tarsius spp).

Terdapat 650 jenis burung Wallacea, dimana 265 jenis merupakan jenis endemik, ini merupakan jumlah yang tinggi bila dibandingkan dengan luas total kawasan ini. Dari 235 genera yang ada, 26 merupakan genera endemik, dengan 16 genera (15 diantaranya bersifat monotipik) terbatas di Sulawesi dan pulau-pulau satelit Sulawesi lainnya. Sulawesi memiliki jumlah burung terbanyak, dengan 356 jenis, termasuk 96 jenis endemik, dimana diantaranya adalah maleo (genting).

Keanekaragaman jenis reptilia juga cukup tinggi, dengan 222 jenis, 99 jenis adalah endemik. Ini termasuk 118 jenis kadal, dengan 60 jenis endemik; 98 jenis ular termasuk 37 jenis endemik; 5 jenis kura-kura termasuk 2 jenis endemik; jenis buaya air asin atau buaya muara yang tersebar luas. Terdapat 3 endemik genera (semuanya dari jenis ular) : Calamorhabdium, Rabdion dan Cyclotyphlops. Rabdion dan Cyclotyphlops merupakan genera monotipik. Amfibi diwakili 58 jenis asli, semuanya jenis katak; diantaranya 32 jenis endemik. Fauna katak wallacea sangat menarik karena merupakan kombinasi antara elemen indo malaya dan australia, juga dengan beberapa radiasi lokal.

Untuk ikan air tawar, sebagian besar dari 310 jenis yang tercatat dari sungai dan danau di Wallacea toleran terhadap air asin dan air tawar sampai pada tingkat tertentu. Sekitar 75 jenis adalah endemik. Di Maluku dn fauna kecil, jenis ikan sangat sedikit diketahui, tapi kelihatannya paling tidak terdapat 6 jenis endemik Pulau. Di Sulawesi diketahui 69 jenis dimana 53 (77%) endemik.

Untuk fauna invertebrata di Wallacea masih kurang diketahui, kecuali dari kelompok seperti kupu-kupu sayap burung yang besar (anggota dari Swallow butterflies). Kupu-kupu sayap burung ini diwakili 82 jenis di Wallacea, 44 jenis merupakan jenis endemik. Terdapat pula 109 jenis kumbang harimau tercatat di hotspot ini, 79 diantaranya merupakan jenis endemik. Wallacea juga memiliki lebah terbesar di dunia (Chalocodoma pluto) yang terdapat di Maluku bagian utara, sebuah makhluk yang betinanya dapat tumbuh hingga mencapai ukuran panjang 4 cm. Lebah ini juga sangat mengagumkan, yakni bersarang secara berkelompok di sarang rayap yang masih dihuni di pohon-pohon hutan dataran rendah.

“ dikutip dari Supriatna, 2008.

Ancaman Kelestarian Spesies di Wallacea

Keberadaan spesies endemik pada satu sisi merupakan kebanggaan, namun di sisi lain menggambarkan kerentanan terhadap bahaya kepunahan. Kerentanan spesies endemik di Pulau Sulawesi disebabkan karena wilayah penyebarannya yang sangat terbatas (tidak dijumpai di pulau lainnya) bahkan di Sulawesi sendiri habitatnya sudah banyak terfragmentasi. Kerentanan disebabkan pula oleh kemampuan regenerasi spesies yang rendah (misalnya jumlah telur/anak yang sedikit per tahun atau prosentase lahir hidup/menetas yang rendah), kemampuan adaptasi terhadap perubahan habitat yang rendah, daya bertahan hidup yang rendah maupun perilaku yang kurang mendukung terhadap kelestarian spesies itu sendiri.

Seperti pada kakatua jambul kuning, meskipun kemampuan untuk menjelajah cukup luas, namun perilaku spesies ini kurang mendukung terhadap perbanyakan populasi. Satwa ini memiliki perilaku monogami. Apabila pasangannya mati, mereka enggan mencari pasangan baru. Perilaku ini tentu saja akan mengurangi potensi perkembangbiakkan satwa itu sendiri di alam.

Ada pula spesies yang memiliki persyaratan habitat yang cukup ketat/spesifik untuk dapat menetaskan telurnya. Misalnya burung maleo. Maleo hanya bisa menetaskan telurnya apabila telah menemukan tanah-tanah yang hangat (geothermal). Di sisi lain, jumlah telur yang dihasilkan betina per tahunnya tidak banyak. Ini belum dikurangi lagi oleh aktivitas satwa predator telur misalnya saja biawak. Sehingga kemampuan regenerasi satwa ini secara alami memang sudah rendah.

Dari sekian faktor pengganggu kelestarian satwa endemik Sulawesi, perburuan tetap menjadi faktor utama kelangkaan dan kerentanan spesies di Wallacea. Aktivitas perburuan telah mengurangi secara signifikan populasi spesies dilindungi di Sulawesi. Modusnya seperti untuk alasan ekonomi, hobi maupun konsumsi sendiri. Anoa dan babirusa diburu terutama karena tanduk dan dagingnya, maleo diambil telurnya, kakatua dan kus-kus untuk dijadikan peliharaan, dan buaya (bukan endemik wallacea) untuk diambil kulit, taring dan alat kelaminnya. Ini umumnya juga terjadi pada jenis-jenis yang lainnya.

Faktor kedua adalah kerusakan habitat satwa. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh aktivitas manusia seperti illegal logging, perambahan, pertambangan, kebakaran, pembangunan sarana/prasarana dan dampak aktivitas manusia di habitat satwa tersebut seperti pengambilan rotan, penyadapan getah, pengambilan ikan dan lain sebagainya. Kondisi tersebut di atas juga terjadi pada spesies-spesies khas di Wallacea yang hidup di luar Pulau Sulawesi.

TN Rawa Aopa Watumohai sebagai situs Wallacea Penting

Saat ini kondisi spesies-spesies endemik di Wallacea semakin tertekan dengan makin meningkatnya gangguan manusia terhadap habitat maupun populasinya. Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti oleh peningkatan aktivitas manusia di dalam dan sekitar kawasan hutan secara langsung maupun tidak langsung telah memarginalkan kehidupan satwa liar. Beberapa satwa yang dahulu gampang dijumpai seperti maleo dan anoa makin terdesak dari habitat aslinya, bahkan telah dinyatakan hilang di beberapa daerah yang dahulu populasinya masih besar.

Sebagian satwa-satwa endemik tersebut telah terdesak ke kawasan-kawasan yang sulit diakses oleh manusia, mengarah ke daerah pegunungan dan daerah sulit lainnya. Sebagian besar yang tersisa hidup di kawasan konservasi dimana habitat dan ekosistemnya dilindungi oleh undang-undang. Meskipun tak dapat dipungkiri, di kawasan-kawasan tersebut masih ada indikasi tren populasi satwa yang makin menyusut.

Beberapa kawasan konservasi darat menjadi benteng terakhir spesies Wallacea seperti TN Rawa Aopa Watumohai, TN Bogani Nani Wartabone, TN Lore Lindu, TN Togean, TN Bantimurung Bulusaraung dan cagar alam atau suaka margasatwa yang tersebar di beberapa lokasi di Sulawesi. Sebagian lainnya berstatus sebagai kawasan lindung, terutama untuk daerah-daerah pegunungan.

Spesies endemik di Wallacea yang masih dapat ditemui pada TN Rawa Aopa Watumohai misalnya Anoa dataran rendah, maleo, kus-kus, kakatua jambul kuning, monyet hitam, elang sulawesi dan beberapa spesies endemik lainnya. Sebagian besar satwa-satwa tersebut telah mengalami tekanan di habitat aslinya akibat gangguan terhadap tempat hidupnya. Sebagian malah menjadi sasaran perburuan.

Kawasan TN Rawa Aopa Watumohai juga memiliki ciri ekosistem penyusun ekologi Wallacea pada umumnya. Kawasan ini memiliki ekosistem savana di dataran rendah dan ekosistem pegunungan di daerah yang lebih tinggi. Karakteristik ini juga dijumpai di kawasan Wallacea lainnya seperti ekosistem savana yang kering di Nusa Tenggara Timur, serta ekosistem pegunungan di Nusa Tenggara Barat dan Maluku.

Nilai penting kawasan TN Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) sebagai kawasan perlindungan flora/fauna telah mendorong pemerintah pusat untuk meningkatkan statusnya sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Berdasarkan lampiran PP tersebut, TNRAW menjadi satu-satunya Taman Nasional darat yang berstatus Kawasan Strategis Nasional di Pulau Sulawesi. Untuk di Indonesia sendiri, Taman Nasional yang berstatus KSN tidak banyak.

Dalam hal perlindungan spesies burung air, TNRAW telah ditetapkan sebagai situs RAMSAR ke-1944 berdasarkan Keputusan Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah Internasional tanggal 6 Maret 2011 (jumlah situs Ramsar di Indonesia sampai April 2012 : 6 lokasi, Sulawesi : 1 lokasi). Perlindungan ini terutama dilakukan terhadap burung Wallacea maupun burung migran yang bukan spesies khas Sulawesi namun hidup di dalam Kawasan TNRAW. Perlindungan juga mencakup tempat hidup satwa-satwa tersebut.

Penghargaan yang demikian besar baik dari pemerintah pusat maupun dunia internasional terhadap kekayaan hayati di kawasan TN Rawa Aopa Watumohai perlu direspon positip. Kawasan TNRAW sebagai salah satu benteng terakhir kawasan ekologi Wallacea telah menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Tenggara. Kebanggan ini perlu diimplementasikan dalam bentuk kegiatan positip dalam rangka mendukung kelestarian ekologis kawasan.

Referensi :

  1. Written A, Jatna Supriatna, Ria Saryanthi, dan Petter Wood. 2002. Wallacea. In : hotspot. Conservation International, Washington. DC dalam Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Wallacea
Artikel Terkait:
Baca Juga artikel lainnya:

1 thoughts on “Mengenal Ekologi Wallacea

Tinggalkan komentar