Merasakan dari dekat Ekowisata Rawa Aopa (In Memorian 2010)

Pemandadangan Rawa Aopa dari Menara

Pemandangan Rawa Aopa dari Menara

Nelayan berlayar mencari ikan, memasang bubu dan menarik jala/pukat barangkali suatu pemandangan yang biasa di laut. Namun, pernahkan Anda membayangkan di Sulawesi Tenggara Anda bisa mendapati pemandangan tersebut terjadi di perairan darat/air tawar ? Jika belum, maka tengoklah sebentar Rawa Aopa, salah satu situs penting di dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kawasan ini berada di bagian selatan daratan Pulau Sulawesi.

(dipublikasikan kembali dari lembar catatan-catatan kecil penulis)

Aksesibilitas

Dari Kendari, Rawa Aopa dapat ditempuh dengan dua jalur, semuanya telah beraspal. Jalur pertama : Kendari – Puwatu – Unaaha – Rawa Aopa, menempuh jarak 80 Km selama kurang lebih 1 jam perjalanan kendaraan roda empat. Jalur kedua lebih pendek : Kendari – Ranumeeto – Motaha – Rawa Aopa, dapat ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam. Kekurangan dari jalur kedua ini, ada beberapa jembatan yang masih berupa batang kelapa, namun selebihnya adalah jalan aspal yang kualitasnya lumayan bagus (catatan : saat ini jalan telah bagus semua, 2014).

Darmaga Rawa Aopa

Darmaga Rawa Aopa

Posisi Rawa Aopa sendiri cukup gampang ditemukan, lokasinya dilalui oleh jalan poros Motaha – Unaaha. Jembatan Rawa Aopa merupakan pembatas antara wilayah kabupten Konawe dengan Konawe Selatan. Jadi, apabila bertanya pada masyarakat pun, kebanyakan dapat menunjuk lokasinya dengan tepat.

Pengalaman Menjelajahi Rawa Aopa

Kesekian kalinya, saya (penulis) mengunjungi Rawa Aopa pada bulan Agustus 2010, atau tepatnya beberapa hari menjelang puasa. Waktu itu, melihat burung air Rawa Aopa bukan tujuan utama, namun begitu melihat kawasan konservasi seluas 10 ribuan ha itu, timbul keinginan hati untuk mengunjunginya. Jam ponsel menunjukkan pukul 10 lewat. Sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), saya tahu bahwa sesiang itu cukup sulit menjumpai atraksi ratusan burung air. Namun setidaknya ada harapan puluhan burung masih tersisa di sana.

Untuk melihat atraksi burung air, saya menyewa perahu nelayan setempat. Bentuk dan penampilannya sederhana seimbang dengan harga sewa yang tidak terlalu mahal. Perahu kecil itu sebenarnya bisa dinaiki 5-6 penumpang termasuk motorisnya. Namun saat itu kami hanya berdua dengan Basir, seorang motoris perahu yang saya kenal. Saya kuatir makin siang akan semakin sulit menjumpai burung air.

Rawa Aopa terletak di pinggir jalan poros Motaha-Unaaha, atau tepatnya di sebelah jembatan Rawa Aopa. Saya turun dari jalan poros menuju Darmaga melalui jalan setapak yang masih berupa tanah liat. Tidak terlalu jauh, hanya 5 meter saja. Kondisi Darmaga memang agak memprihatinkan, dulu saya bisa duduk-duduk di kursi kayu darmaga, namun kursi itu sudah rusak dimakan usia.

Tak lama perahu datang, Basir tersenyum lebar padaku. Tak perlu menunggu lama, mesin katinting ditancap dan kami pun meluncur membelah rawa. Perahu melewati pinggiran tumbuhan rawa menuju ke tengah. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama “totole”. Tumbuhan ini biasa dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai bahan baku membuat berbagai kerajinan tikar.

Belum jauh meninggalkan Darmaga, 2 ekor pecuk padi belang melintas di atas kepala kami. Kemungkinan burung-burung itu sedang mencari tempat teduh untuk beristirahat. Ini kebiasaan burung air Rawa Aopa ketika hari semakin siang. Orang yang belum terbiasa dengan perilaku burung air tentu heran, burung air yang begitu banyak di pagi hari tiba-tiba menjadi sedikit di siang hari. Memang demikianlah siklus harian mereka. Sayangnya saya tidak berencana untuk berperahu sampai sore hari. Jadi saya tidak terlalu berharap dapat melihat secara langsung kedua burung tersebut kembali ke rawa.

Lima menit meninggalkan rawa, mulai terlihat burung-burung air sedang asik bermain di atas rimbunnya pandan rawa. Sebagian diantaranya terlihat berjalan di atas perakaran teratai yang memang banyak tumbuh di Rawa Aopa. Burung hitam sebesar ayam itu hanya dijumpai secara alami di pulau Sulawesi dan sekitarnya. Namanya burung “Mandar”, ditandai oleh cengger berwarna merah menyala agak pipih. Tubuhnya yang ramping dan kaki yang lincah memudahkan satwa tersebut berjalan diantara perakaran tumbuhan rawa. Populasi mandar di Rawa Aopa cukup besar, barangkali selain reproduksinya cepat juga ada keengganan pemburu burung menangkap burung sekecil mereka.

Sepuluh menit berlalu, di depan perahu kami sudah nampak pulau harapan dengan beberapa batang pohon kelapa menjulang tinggi. Bangunan menara pengamatan burung yang hampir setinggi kelapa makin memperindah pemandangan pulau. Di belakang Pulau terhampar luasnya rawa. Saya memberi kode Basir untuk berbelok menjauhi pulau. Pemandangan atraksi burung air di belakang pulau terlalu sayang untuk dilewatkan. Burung air beraneka jenis yang bermain-main dan mencari makan merupakan pemandangan yang bisa dijumpai di hamparan rawa yang agak luas tersebut. Jika ada surga burung air di Jazirah Bumi Anoa, barangkai disinilah tempatnya.

Tak berlebihan jika rawa luas di belakang pulau itu disebut surga burung air. Terlihat banyak mandar beterbangan di dekat perahu kami. Saya memberi aba-aba kepada Basir untuk mematikan mesin katinting. Kurogoh saku dan kukeluarkan kamera digital yang telah kupersiapkan sebelumnya. Sayang sekali kameraku tidak memiliki lensa tele, sehingga puluhan burung yang ada didepanku luput dari tangkapan lensa. Terlalu kecil untuk kamera digital automatis dengan 4x zoom yang saya miliki. Namun cukup senang juga bisa mendokumentasikan beberapa burung air yang terbang di sekitar perahu.

Mereka beterbangan menjauhi perahu, mungkin agak asing dengan kehadiran kami. Jenis-jenis yang terlihat antara lain mandar, pecuk ular, cekakak sungai, blekok sawah, dan kuntul kerbau. Bahkan saya juga cukup beruntung bisa melihat kehadiran satu ekor elang yang bertengger di atas kayu mati, tepatnya di pinggiran hamparan rawa. Panorama gunung Makaleleo di kejauhan semakin menambah keindahan rawa. Apalagi ditambah puluhan burung terbang di depannya. Beberapa gambar berhasil kudapatkan. Pengalaman yang berharga.

Setelah puas menikmati pemandangan dan atraksi burung air, saya meminta Basir kembali ke arah Pulau Harapan. Saya ingin beristirahat sambil melihat panorama Rawa Aopa dari atas ketinggian menara. Gas mesin katinting ditancap dan perahu melaju kembali.

Pulau Harapan Rawa Aopa

Pulau Harapan Rawa Aopa

Sesampainya di Pulau Harapan, kami berjalan menuju  menara pengamatan burung. Perahu kami tambatkan di Darmaga. Lalu kami menaiki Darmaga kayu yang mulai rapuh dimakan usia. Lima meter kemudian, kaki-kaki kami telah menjejak jalan selebar 1 m yang telah diperkeras. Jalan itu memang dibuat untuk kenyamanan pengunjung. Sayangnya, beberapa sarpras seperti toilet, kamar mandi dan saung tempat peristirahatan sudah rusak berat akibat ulah pengunjung dan umur yang sudah tua.

Kami menaiki tangga menara dan beristirahat di puncak menara. Saya bisa melihat hamparan rawa yang sangat luas dari ketinggian. Hanya sedikit orang barangkali yang tahu bahwa dibawah tumbuhan rawa tersebut merupakan tanah gambut yang sangat penting bagi dunia penelitian. Disitulah rawa gambut khas Sulawesi berada. Bahkan dasar pulau tempat berpijak konon juga disangga oleh tumpukan gambut yang sangat tebal.

Pandanganku beralih ke arah nelayan rawa yang terlihat mengayuh perahu di tengah rawa. Cukup indah, apalagi dari ketinggian tersebut kami bisa merasakan tiupan angin sepoi-sepoi.

Setelah 20 menit di pulau, kami memutuskan kembali ke Darmaga Rawa Aopa. Dari kejauhan, tak lupa saya mendokumentasikan panorama pulau yang cukup menawan itu. Langit terlihat agak gelap. Tak lama turun hujan rintik-rintik. Kami berpacu dengan waktu. Perahu kami pun merapat kembali ke Darmaga Rawa Aopa.

Nilai Penting Kawasan

Rawa Aopa menyimpan kekayaan ekosistem yang tinggi. Tempat tersebut telah menjadi surga bagi ratusan ekor burung air yang dengan gampang ditemui pada pagi dan sore hari. Saat ini status Rawa Aopa yang berada dalam proses penetapan sebagai situs RAMSAR dunia (saat ini sudah ditetapkan sebagai situs RAMSAR, 2014). Status perlindungan lahan basah internasional (RAMSAR) tentu saja akan membawa daya tarik tersendiri, baik dalam maupun luar negeri. Namun tanpa upaya yang simultan, terarah dan terintegrasi para pemangku kepentingan, upaya mengangkat ekowisata di Rawa Aopa akan sulit terwujudkan.

Promosi Ekowisata

Balai TNRAW telah melakukan banyak upaya dalam rangka mempromosikan Rawa Aopa. Promosi ini dilakukan dalam rangka membuka kotak besi surga burung air yang masih terpendam. Beberapa diantaranya adalah melalui perjalanan tim media massa (journalist trip) serta pertemuan para pihak (BTNRAW, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Media Massa) yang difasilitasi oleh YPSHK Kendari 26 Agustus 2010 lalu. Sayangnya upaya ini masih belum optimal dalam membuahkan peran/kewajiban para pihak untuk bersama-sama mengangkat potensi ekowisata TNRAW.

Kerjasama Pengembangan Ekowisata

Kementerian Kehutanan sendiri sebenarnya telah memberikan ruang bagi pelaksanan kolaborasi pengelolaan ekosistem untuk tujuan pariwisata alam dengan mengeluarkan beberapa aturan sebagai landasan hukum pelaksanaan kerjasama. Pada tahun 2003 Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. P. 390/KPTS-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan ini mengatur mekanisme pengembangan kerjasama berbagai pihak dengan organisasi/UPT pengelola kawasan hutan konservasi lingkup Kementerian Kehutanan.

Setahun kemudian, sebagai wujud kepedulian dalam mengembangkan pengelolaan kolaboratif, Menteri Kehutanan mengeluarkan Kepmenhut Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Secara jelas Kepmenhut ini menyebutkan bahwa bidang-bidang yang dapat dikolaborasikan diantaranya adalah pemanfaatan kawasan untuk tujuan pariwisata alam dan jasa lingkungan. Kerjasama juga dapat dilakukan dalam hal pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan kolaborasi.

Bagaimanakah para pihak dapat bersinergi untuk bersama-sama membuka dan mengangkat potensi ekowisata di Rawa Aopa ini ??

Catatan :

Ditulis berdasarkan kunjungan penulis tanggal 5 Agustus 2010 ke Rawa Aopa dan SPTN I

1 thoughts on “Merasakan dari dekat Ekowisata Rawa Aopa (In Memorian 2010)

  1. Ping-balik: perbandingan-penafsiran-citra-visual-dan-digital-untuk-analisis-penutupan-lahan-di-kawasan-hutan | Syafraufgisqu.wordpress.com

Tinggalkan komentar