Aneka Informasi tentang Anoa di dalam Permenhut No P. 54 Tahun 2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus Quarlesi) Tahun 2013-2022

Foto anoa dataran rendah di kandang breeding anoa BPK Manado (Sugiarto, 2015)

Foto anoa dataran rendah di kandang breeding anoa BPK Manado (Sugiarto, 2015)

Anoa merupakan satwa langka yang dalam 2 dasawarsa terakhir telah berhasil menarik perhatian banyak ilmuwan untuk meneliti. Banyak pula para pemerhati lain dari kalangan pemerintah, LSM, mahasiswa maupun masyarakat umum. Beberapa informasi hasil penelitian terkait anoa telah dijadikan dokumen public dengan dicantumkannya hasil penelitian tersebut ke dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 54 Tahun 2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus Quarlesi) Tahun 2013-2022. Hasil kerja keras para peneliti dan pecinta anoa tersebut sangat sayang untuk dilewatkan karena dapat menambah khasanah dan pengenalan kita terhadap anoa. Sebagai bahan informasi, kami tampilkan kembali sebagian isi Permenhut tersebut.

I. Pendahuluan

Anoa merupakan satwa dengan ukuran tubuh terkecil dalam marga kerbau, Bubalus, namun ada juga yang menganggap anoa sebagai sapi hutan atau sapi kerdil Sulawesi karena secara morfologi lebih menyerupai sapi. Anoa termasuk salah satu satwa endemik Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Namanya dikenal bahkan hampir identik dengan Pulau Sulawesi, yang merupakan salah satu daerah yang penting untuk konservasi keanekaragaman hayati, biodiversity hotspots, di wilayah Wallacea. Anoa telah menjadi maskot fauna dan Flagship Spesies konservasi di Sulawesi. Dengan status ini anoa menjadi duta yang memperkenalkan Sulawesi baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena itu selayaknya pemerintah dan masyarakat Sulawesi bangga dan lebih memperdulikan kelestarian jenis satwa endemik tersebut. Secara historis, penyebaran anoa meliputi seluruh Pulau Sulawesi dan Pulau Buton, akan tetapi saat ini jenis satwa langka ini tidak dijumpai di semenanjung selatan dan bagian ujung dari semenanjung utara (Burton et al., 2005). Sedangkan beberapa pulau kecil di sekitar Pulau Sulawesi seperti Kepulauan Togian, Kepulauan Banggai, Pulau Wawonii, Pulau Muna, Pulau Kabaena, dan Kepulauan Tukang Besi (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko) tidak terdapat anoa (Mustari, 1995, 2003).

Kelangsungan hidup anoa semakin terancam disebabkan oleh perburuan liar, fragmentasi dan berkurangnya luas habitat. Anoa diburu untuk diperdagangkan dan dikonsumsi dagingnya, serta tanduknya dijadikan trophy. Berkurangnya luas habitat disebabkan oleh konversi hutan untuk penggunaan lain serta menurunnya fungsi hutan untuk menunjang kehidupan anoa yang menyebabkan populasinya terus menurun.

Di Indonesia anoa dilindungi oleh undang-undang sejak tahun 1931. Pada tingkat international, anoa masuk dalam katagori Endangered Spesies dalam IUCN Red List yaitu satwa yang terancam punah apabila tidak segera diambil tindakan konservasi terhadap habitat dan populasinya. Jenis ini juga termasuk dalam Appendix I CITES yaitu satwa yang tidak boleh diburu, dibunuh dan diperdagangkan baik hidup ataupun mati, dan atau dalam keadaan utuh maupun bagian-bagian satwa ini.

Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan populasi dan habitat serta adanya partisipasi aktif dari parapihak untuk melindungi anoa dari ancaman kepunahan. Selain itu diperlukan dukungan kebijakan untuk melindungi populasi dan habitat anoa, serta adanya data dan informasi yang akurat terkait kondisi habitat, populasi dan penyebaran anoa di seluruh Pulau Sulawesi dan Pulau Buton.

Upaya yang telah dilakukan untuk melestarikan anoa, diantaranya adalah dilakukannya workshop internasional ”Population and Habitat Viability Assessment” (PHVA) di Taman Safari I Cisarua Bogor pada bulan Juli 1996 dengan maksud untuk merumuskan kebijakan dan rekomendasi konservasi Anoa baik di habitat aslinya (in-situ) maupun di luar habitat aslinya (ex-situ) (Manansang et al., 1996). Rekomendasi yang dihasilkan terbagi dalam tiga isu strategis yaitu pengelolaan anoa di habitat aslinya, pengelolaan anoa di penangkaran dan lembaga konservasi (ex-situ), serta model populasi anoa untuk memprediksi populasi anoa di masa mendatang dengan berbagai scenario pengelolaan. Namun upaya tersebut tidak terlalu berhasil. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian target dan tahapan dalam rangka penyelamatan anoa secara lebih konkrit dan efektif. Selain itu, idealnya pengelolaan spesies didasarkan pada dokumen perencanaan yang sistematik dan terukur target indikator, sehingga memudahkan upaya monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan implementasinya. Dengan demikian, penyusunan strategi dan rencana aksi konservasi anoa menjadi prioritas dan strategis sebagai dokumen nasional yang digunakan oleh multi-pihak.

Pada bulan Mei 2009 dilakukan workshop mengenai Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa dan Babirusa di Manado selama dua hari yang dikoordinir oleh Ditjen PHKA – Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan IUCN-SSC Asian Wild Cattle Specialist Group, membahas Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa. Workshop tersebut dihadiri 60 peserta multi-pihak. Workshop diselenggarakan dengan tujuan: 1). menghimpun informasi mengenai status dan penyebaran anoa dan babirusa di Sulawesi yang dapat digunakan dalam perencanaan konservasi; dan 2). Menyiapkan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Konservasi Anoa 2013-2022 (dan babirusa pada dokumen yang terpisah).

Rekomendasi dari workshop tersebut di atas, adalah urgensi untuk merangkum informasi terkini mengenai status dan penyebaran anoa dan babirusa, keterlibatan multi-pihak, identifikasi ancaman dan tantangan konservasi serta pengembangan strategi dan rencana aksi konservasi.

II. Biologi

Dalam melakukan konservasi anoa beserta habitatnya, diperlukan pengetahuan mengenai taksonomi dan struktur populasi dari jenis dimaksud. Namun sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti mengenai taksonominya (Groves 1969; Honacki et al. 1982; Wilson & Reeder 1993, Sugiri & Hidayat 1996) dan struktur populasi anoa (Shreiber et al., 1999 dan Burton et al., in prep.). Taksonomi anoa yang banyak digunakan saat ini seperti dinyatakan oleh Groves (1969), terdapat dua spesies anoa, yaitu Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa gunung (Bubalus quarlesi). Terdapat variasi morfologi anoa dari berbagai daerah di Sulawesi.

Penelitian yang dilakukan oleh Burton et al. (in prep.) menunjukkan sedikitnya terdapat empat sub populasi anoa yang memiliki variasi genetik berbeda pada wilayah geografi yang berbeda di seluruh Pulau Sulawesi dan Pulau Buton. Sub populasi tersebut masing-masing terdapat di Pulau Sulawesi bagian utara, tengah, dan tenggara dan satu sub populasi di Pulau Buton. Sedangkan di bagian selatan Sulawesi, data genetik masih sangat sedikit yang diketahui. Dalam pengelolaan populasi, variasi genetik pada wilayah geografi yang berbeda (longitudinal), serta perbedaan ketinggian (altitudinal) menjadi pertimbangan penting dalam menentukan kawasan prioritas untuk melindungi populasi anoa, dan menjadi dasar dalam penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa 2013-2022.

Gambaran perbedaan morfologi anoa dataran rendah dan anoa gunung dapat dijumpai pada Groves (1969) dan Burton et al. (2005). Penyebaran kedua spesies anoa di Sulawesi telah digambarkan oleh Burton et al. (2005). Anoa gunung umumnya ditemukan diatas ketinggian 1.000 mdpl, dan anoa dataran rendah menghuni kawasan hutan dibawah 1.000 m dpl. Namun demikian, kedua spesies itu sering dijumpai hidup simpatrik, dapat ditemukan pada habitat yang sama (Mustari, 2003). Karena ketidakpastian penyebaran ini yang menyebabkan sulit dalam memilih populasi yang mewakili kedua spesies tersebut. Oleh karena itu, variasi genetik anoa yang sampai saat ini diketahui sedikitnya empat sub populasi (Burton et al., in prep.), serta adanya perbedaan sub spesies berdasarkan ketinggian habitat, menjadi dasar dalam menentukan kawasan konservasi prioritas pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa 2012-2021.

Anoa termasuk satwa soliter, umumnya ditemukan dalam kelompok satu atau dua ekor yaitu jantan dan betina dewasa pada musim kawin, atau induk beserta anaknya. Anoa juga termasuk satwa yang sulit didomestikasi meskipun sudah beberapa tahun dipelihara. Anoa bersifat lebih agresif saat musim birahi, atau induk yang sedang memiliki anak (Mustari 1995, 2003).

Anoa merupakan salah satu satwa liar yang relatif sulit berkembang biak karena hanya melahirkan 1 individu dalam sekali kelahiran dengan masa kebuntingan sembilan bulan. Jarak antar kebuntingan paling cepat 2 tahun, serta dewasa kelamin saat berumur 3 tahun untuk betina dan 4 tahun untuk jantan. Walaupun belum terbukti secara ilmiah, berdasarkan beberapa catatan di ex-situ, masa produktif anoa sampai dengan umur 20 tahun.

III. Populasi, Habitat dan Penyebaran

  1. Populasi

Data kepadatan populasi anoa di habitat alamnya masih sangat terbatas, sehingga sulit memperkirakan ukuran populasi secara akurat. Data populasi anoa hanya tersedia pada beberapa kawasan konservasi, diantaranya di Suaka Margasatwa (SM) Tanjung Amolengo (luas 604 ha) dengan kepadatan populasi 1,3 – 2,0 anoa/ km2 terdapat 8 – 12 Anoa dataran rendah (Mustari, 1995); di SM Tanjung Peropa (luas 38.927 ha), kepadatan populasi anoa 0,9 individu/km2, sehingga populasinya diperkirakan sekitar 350 individu (Mustari, 2003); di SM Lambusango (luas 27.700 ha), Pulau Buton, diperkirakan kepadatan populasi anoa berkisar antara 0,25 – 0,33 anoa/km2, sehingga perkiraan populasi sekitar 150 – 200 anoa (Wheeler, unpublished report, 2006). Dengan menggunakan data perkiraan kepadatan anoa yang minimal yaitu berkisar 0,25 – 0,33 ekor/km2, maka diperirakan populasi anoa di seluruh Sulawesi kurang dari 5.000 individu (IUCN Red List, 2009).

Perburuan liar, meningkatnya laju deforestasi dan fragmentasi habitat menyebabkan populasi anoa semakin menurun. Sementara itu untuk mempertahankan variasi genetik dari berbagai ancaman termasuk juga perubahan lingkungan diperlukan populasi yang cukup besar. Karena populasi yang kecil dan terfragmentasi memiliki resiko hilang variasi genetik sehingga rentan terjadi kepunahan. Selain itu populasi kecil juga berpeluang lebih besar punah saat terjadi wabah penyakit atau bencana alam.

Supaya variasi genetik suatu populasi dapat dipertahankan, diperlukan jumlah minimal individu atau Minimum Viable Population (MVP) dalam suatu populasi. MVP untuk mamalia diperkirakan sekitar 5.000 individu dewasa (Franklin & Frankham, 1998, Traill et al., 2007).

Pengelolaan populasi dan genetik

Minimum Viable Population (MVP) didefinisikan sebagai ”jumlah minimum populasi yang diperlukan bagi suatu populasi atau spesies untuk bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama (Schaffer, 1981). Untuk menjaga keragaman genetik pada tingkat minimal 90% dalam jangka waktu 100 tahun diperlukan sedikitnya 5.000 individu dewasa (Traill et al., 2007). Dengan jumlah tersebut diharapkan suatu populasi atau spesies dapat: a). melakukan adaptasi/ evolusi, dan b). potensial sebagai sumberdaya genetik yang bermanfaat bagi kepentingan manusia.

Diperkirakan saat ini di Sulawesi tidak ada suatu kawasan yang memiliki populasi anoa sejumlah 5.000 individu dewasa, sementara itu agar variasi genetik anoa in-situ dapat dipertahankan, maka konsep pengelolaan populasi anoa yang harus dilakukan salah satunya adalah ”meta populasi”, yaitu pengelolaan populasi anoa yang tersebar menjadi suatu kesatuan, sehingga diharapkan populasi anoa yang kecil dan terfragmentasi tersebut masih dapat dipertahankan variasi genetiknya. Diantaranya meliputi: a). menjaga populasi yang terfragmentasi dari kepunahan, b). menjaga stok genetik penting dari kepunahan, dan c). menjamin adanya aliran gen (perpindahan dan pergerakan satwa dengan menjaga kesinambungan bentang alam kawasan atau koridor).

Selain konservasi anoa in-situ secara bersamaan penting untuk dilakukan konservasi anoa di luar habitat alaminya (ex-situ) diantaranya dengan tujuan untuk pendidikan dan sebagai pendukung populasi anoa in-situ untuk menjaga spesies tersebut dari kepunahan di habitat alaminya.

Program konservasi anoa eks-situ

Konservasi eks-situ berfungsi sebagai back-up populasi in-situ. Populasi anoa eks-situ akan mendukung populasi anoa yang aman atau sintas viable, yang menjaga dan meminimalisasi efek negatif in-breeding ataupun out-breeding. Populasi anoa eks-situ berfungsi sebagai gene-bank yang mewakili keseluruhan populasi, serta untuk program reintroduksi apabila diperlukan. Untuk mencapai tujuan ini diperkirakan bahwa 90% keragaman genetik harus dipertahankan dalam kurun waktu paling tidak 100 tahun ke depan (Frankham et al., 2002).

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan minimal 60 founder anoa, yang dapat dikembangbiakkan untuk mencapai suatu populasi anoa eks-situ sampai dengan 300 individu (IUCN Conservation Breeding Specialist Group). Untuk mencapai angka ini diperlukan pengelolaan yang tidak mudah, mengingat belum tersedianya data yang pasti terkait jumlah spesies anoa. Apabila didasarkan dua spesies (anoa dataran rendah dan anoa gunung), maka perlu dilakukan pengelolaan secara terpisah, untuk itu diperlukan dua populasi anoa secara terpisah, masing-masing berjumlah sedikitnya 300 individu (atau 60 founder dewasa sebagaimana dijelaskan sebelumnya) anoa. Angka tersebut sulit dicapai dengan sumberdaya yang tersedia saat ini sehingga diperlukan suatu solusi praktis untuk menjaga populasi anoa tetap viable dengan mempertimbangkan status taksonomi dan struktur populasi anoa.

Program konservasi anoa eks-situ

Konservasi eks-situ berfungsi sebagai back-up populasi in-situ. Populasi anoa eks-situ akan mendukung populasi anoa yang aman atau sintas viable, yang menjaga dan meminimalisasi efek negatif in-breeding ataupun out-breeding. Populasi anoa eks-situ berfungsi sebagai gene-bank yang mewakili keseluruhan populasi, serta untuk program reintroduksi apabila diperlukan. Untuk mencapai tujuan ini diperkirakan bahwa 90% keragaman genetik harus dipertahankan dalam kurun waktu paling tidak 100 tahun ke depan (Frankham et al., 2002).

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan minimal 60 founder anoa, yang dapat dikembangbiakkan untuk mencapai suatu populasi anoa eks-situ sampai dengan 300 individu (IUCN Conservation Breeding Specialist Group). Untuk mencapai angka ini diperlukan pengelolaan yang tidak mudah, mengingat belum tersedianya data yang pasti terkait jumlah spesies anoa. Apabila didasarkan dua spesies (anoa dataran rendah dan anoa gunung), maka perlu dilakukan pengelolaan secara terpisah, untuk itu diperlukan dua populasi anoa secara terpisah, masing-masing berjumlah sedikitnya 300 individu (atau 60 founder dewasa sebagaimana dijelaskan sebelumnya) anoa. Angka tersebut sulit dicapai dengan sumberdaya yang tersedia saat ini sehingga diperlukan suatu solusi praktis untuk menjaga populasi anoa tetap viable dengan mempertimbangkan status taksonomi dan struktur populasi anoa.

Di Indonesia, tercatat data anoa yang berada di Lembaga Konservasi sampai dengan 20 Pebruari 2011 sejumlah 20 individu anoa (6 jantan, 14 betina) dengan rincian sebagaimana pada Tabel 1. Selain di Lembaga Konservasi, beberapa individu anoa dipelihara oleh masyarakat dan institusi pemerintah seperti BKSDA dan perguruan tinggi yang seluruhnya berjumlah 15 individu (11 anoa berada dalam pemeliharaan masyarakat). Sehingga jumlah anoa yang ada di ex-situ seluruhnya berjumlah 35 individu. Namun demikian perlu segera dilakukan pemutakhiran data mengenai jumlah anoa yang ada di masyarakat. Semua anoa tersebut sebaiknya dikelola berdasarkan guideline dari IUCN (IUCN, 2002). Sementara anoa yang ada di Lembaga Konservasi di dalam negeri, dikelola dalam koordinasi PKBSI.

Populasi anoa di lembaga konservasi

Populasi anoa di lembaga konservasi

Bukan hanya di dalam negeri, anoa juga menjadi koleksi berbagai Kebun Binatang di luar negeri. Studbook keeper internasional yang akan memastikan anoa ex-situ dikelola secara benar sesuai aturan termasuk dalam menjaga keragaman genetik saat ini adalah Gerd Nozold (gnoetzold@zoo-leipzig.de) dari Kebun Binatang Leipzig Jerman. Data sampai dengan 16 Pebruari 2010, tercatat 153 (68 jantan, 68 betina, 7 anak) anoa yang ada di kebun binatang di luar negeri. Dari jumlah tersebut terdapat 10 anoa yang lahir dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Koleksi anoa di luar negeri tersebar di 33 Kebun Binatang, yaitu 22 anoa di Eropa, 10 anoa di Amerika Utara, dan 1 anoa di Asia. Tetapi jumlah ini seharusnya lebih banyak karena tercatat 4 anoa di Kanazawa Zoo, Jepang, dan 3 anoa (2 jantan, 1 betina) di Negara Zoo Kuala Lumpur, Malaysia.

  1. Habitat

Anoa termasuk jenis yang hidupnya tergantung pada hutan (forest dependent spesies), baik sebagai tempat berlindung maupun mencari pakan. Mereka membutuhkan hutan primer serta hutan yang relatif masih rapat tutupan vegetasinya. Anoa gunung umumnya ditemukan pada ketinggian di atas 1.000 mdpl sedangkan anoa dataran rendah ditemukan di bawah ketinggian 1.000 m dpl. Anoa dataran rendah umum dijumpai pada hutan pantai, hutan dataran rendah, bahkan di hutan mangrove saat air laut surut. Anoa sering mengunjungi padang rumput alami, danau, serta rawa di hutan yang belum terjamah manusia. Satwa ini juga secara teratur mengunjungi sumber-sumber air serta tempat mengasin, salt-lick, untuk mendapatkan garam dan mineral yang dibutuhkan (Mustari, 1995, 2003).

  1. Penyebaran
Peta penyebaran anoa dan kawasan prioritas konservasi anoa

Peta penyebaran anoa dan kawasan prioritas konservasi anoa

Selama workshop penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa di Manado pada bulan Mei 2009, data dan informasi penyebaran anoa yang dikumpulkan dari sekitar 60 peserta workshop serta hasil dari berbagai penelitian, laporan dihimpun dan kemudian disajikan dalam suatu peta, seperti pada Gambar 3. Dalam proses pemetaan penyebaran anoa dibuat enam katagori yaitu confirmed range, possible range, doubtful range, former range (extirpated) termasuk di dalamnya recoverable range, dan unknown range. Secara rinci definisi setiap katagori bentang penyebaran tercantum pada gambar 3.

 

Lokasi prioritas utama pengelolaan populasi dan habitat anoa

Lokasi prioritas utama pengelolaan populasi dan habitat anoa

Agar pengelolaan habitat dan populasi anoa dapat lebih efektif maka perlu ditentukan kawasan prioritas konservasi anoa untuk jangka waktu sepuluh tahun kedepan. Kawasan tersebut ditentukan berdasarkan : a). keterwakilan sub populasi anoa (diantaranya 4 yang telah diketahui), b). tutupan hutan dan konektivitas antara kawasan berhutan, c). status/unit pengelolaan kawasan (TN, BKSDA, Hutan Lindung, dll), yang terpecah ke dalam beberapa wilayah (Tabel 2).

 

Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan No P. 54 Tahun 2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus Quarlesi) Tahun 2013-2022.

Artikel Terkait:
Baca Juga artikel lainnya:

Tinggalkan komentar